Opini

RADIO DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI

Oleh: Andi Rannu  (Komisioner KPU Polman) Beberapa waktu lalu, tepatnya pada  tanggal 11 September 2025, bangsa ini kembali memperingati Hari Radio Nasional. Momentum yang sekaligus juga diperingati sebagai hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI). Di tahun ini, RRI merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Radio publik milik bangsa ini memang memiliki bilangan usia yang sama dengan usia kemerdekaan bangsa ini, mengingat RRI yang memang didirikan pada 11 September 1945. Maka tak heran jika tanggal 11 September juga sering disebut sebagai Hari RRI. Kelahiran RRI sendiri tidak terlepas dari perkembangan penyiaran di masa penjajahan Jepang. Bahkan, sejarah mencatat RRI didirikan sebulan setelah siaran Radio Hoso Kyoku dihentikan tanggal 19 Agustus 1945. Penghentian siaran Radio Hoso Kyoku saat itu telah menyebabkan masyarakat menjadi buta akan informasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Menanggapi perkembangan tersebut, orang-orang yang pernah aktif di radio pada  masa penjajahan Jepang menyadari pentingnya menghadirkan radio sebagai alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan. Wakil-wakil dari delapan bekas Radio Hosu Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta. Pada 11 September 1945 pukul 17.00, delegasi radio sudah berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon dan diterima sekretaris Negara. Dalam pertemuan itu, Abdulrahman Saleh yang menjadi ketua delegasi menguraikan garis besar rencana pertemuan tersebut, salah satunya mengimbau pemerintah untuk mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat, mengingat tentara sekutu akan mendarat di Jakarta akhir September 1945. Di akhir pertemuan, dibuat kesimpulan antara lain dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa, mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat, serta  mengimbau supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh. Pada pukul 24.00, delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman. Hasil akhir dari rapat itu adalah didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. Sarana Pendidikan Demokrasi Momentum memperingati Hari Radio Nasional di tahun ini dalam rangka peran memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tak kalah pentingnya dengan momentum peringatannya di tengah berjalannya tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di tahun 2024 lalu. Meski tidak dimungkiri jika tahun 2024 lalu merupakan tahun berjalannya tahapan hingga pelaksanaan pemilu dan pilkada itu sendiri. Meski begitu, bukan berarti peran radio dan lembaga penyiaran pada  umumnya tidak bisa dimaksimalkan untuk mendorong partisipasi dan pendidikan demokrasi bagi setiap warga negara dalam menghadapi pelaksanaan pemilu dan pilkada mendatang. Sebaliknya, fungsi dan tujuan lembaga penyiaran sebagaimana amanah Undang- Undang Penyiaran itu sendiri telah jelas. Yakni penyiaran diselenggarakan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta  menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Selain dalam rangka mewujudkan masyarakat demokratis, selanjutnya juga disebutkan penyiaran yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Jelaslah, menjalankan fungsi sebagai media informasi dan media pendidikan serta sekaligus sebagai perekat sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan perhelatan demokrasi melalui sarananya berupa pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebab dari beberapa kali pelaksanaan pemilu di bangsa ini juga telah mencatat berbagai dinamika dalam pelaksanaannya, termasuk polarisasi sebagai ekses yang juga pernah timbul dan dirasakan di dalamnya. Karena itu, menyadari peran penting radio sebagai media penyiaran yang berfungsi sebagai perekat sosial diharapkan dapat meminimalisir dan bahkan meniadakan berbagai tantangan tersebut, seperti yang telah kita rasakan dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 baru lalu. Tentu saja dibarengi dengan peran sebagai media informasi dan Pendidikan politik dan demokrasi (pemilu) yang terus senantiasa dijalankan dan dimaksimalkan.  Pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang bagi sebagian kalangan boleh jadi terbilang masih jauh. Tetapi bagi Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya, tidak menjadikannya sebagai faktor yang mengurangi kesiapan dan kesigapan dalam mempersiapkannya. Sebaliknya, KPU dan jajaran di masa non tahapan seperti sekarang ini tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang menjadi bagian dari persiapan menghadapi pelaksanaannya nanti. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) dan Pendidikan Pemilih Berkelanjutan menjadi dua agenda penting yang terus dijalankan KPU dan jajarannya saat ini. Tujuan utamanya jelas, bagaimana menjaga akurasi dan validitas data pemilih serta peningkatan literasi yang akan terkait dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah mendatang. Pada wilayah ini, radio sebagai lembaga penyiaran dapat mendukung dan menjalankan peran yang sama untuk pemberian informasi dan pendidikan demokrasi bagi pendengar serta  masyarakat secara luas. Dengan demikian,  masyarakat pada akhirnya diharapkan dapat terakses oleh informasi-informasi kepemiluan dan demokrasi yang akan berguna sebagai bagian dari pendidikan politik yang akan menjadi pengetahuan dan akan memiliki pengaruh dalam menciptakan pemilih kita yang makin cerdas dan kritis nantinya. Semoga!  (*) (Opini ini telah terbit di kolom “Catatan” Harian Radar Sulbar edisi Selasa, 23 September 2025)  

Demokrasi Sejak Dini, Bukan Menjelang Pemilu

Oleh : RUDIANTO (Anggota KPU Kabupaten Polewali Mandar) Dalam salah satu kegiatan sosialisasi tentang demokrasi yang pesertanya dari kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis pernah mengajukan pertanyaan sederhana: Apa pengertian demokrasi? Hampir seluruh peserta dapat menjawab dengan lancar. Ada yang menyebut “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ada pula yang menjelaskan bahwa demokrasi berarti kebebasan berpendapat atau sistem yang menjunjung persamaan hak. Semua terdengar meyakinkan. Namun, saat pertanyaan berikutnya diajukan: Pasal berapa dalam UUD 1945 yang memuat prinsip demokrasi?, tak satu pun dari sekitar 100 siswa mampu menjawab dengan benar. Tak ada yang menyebut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan awal: generasi muda hari ini memang mengenal istilah demokrasi, tetapi belum tentu memahami maknanya secara substansial, apalagi dalam kaitannya dengan dasar hukum negara. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara pengetahuan teoritis yang diperoleh di kelas dengan pemahaman kontekstual yang seharusnya membentuk sikap dan kesadaran demokratis. Di bangku sekolah, pembelajaran tentang demokrasi umumnya terbatas pada sejarah dan definisi formal belaka. Buku teks menjelaskan kronologi munculnya demokrasi, tokoh-tokohnya, dan jenis-jenis sistem pemerintahan. Namun, sangat jarang ada ruang yang cukup untuk mendalami bagaimana demokrasi dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kedaulatan rakyat bekerja dalam praktik, dan bagaimana anak muda sebagai bagian dari warga negara bisa terlibat aktif di dalamnya. Padahal, demokrasi di Indonesia memiliki dasar konstitusional yang sangat kuat. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar.” Kalimat ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi landasan filosofis dan operasional dari sistem demokrasi kita. Kedaulatan rakyat itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk partisipasi politik, salah satunya melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan menyatakan kehendaknya secara langsung, memilih wakil-wakil mereka yang akan menyusun kebijakan dan mengelola pemerintahan. Namun, tanpa pemahaman yang utuh sejak dini, pemilu bisa saja dipahami hanya sebagai rutinitas lima tahunan, tanpa menyadari bahwa di situlah esensi demokrasi dijalankan. Oleh karena itu, generasi muda membutuhkan pencerahan demokrasi yang tidak sekadar menghafal pemahaman, tetapi juga memahami bagaimana prinsip itu hidup dalam praktik bernegara. Internasionalisasi nilai-nilai demokrasi sejak usia sekolah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi. Di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan konten-konten yang sering membingungkan antara fakta dan opini, anak muda perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, menghargai perbedaan, dan bersikap adil. Ini semua adalah nilai-nilai demokrasi yang seharusnya tumbuh dan dibentuk sejak dini, bukan hanya menjelang pemilu. Sekolah, sebagai institusi pendidikan formal, memegang peran kunci. Budaya diskusi di ruang kelas, pemilihan ketua OSIS yang bebas dan adil, forum debat terbuka antar siswa, atau bahkan pelibatan siswa dalam pengambilan keputusan sekolah, adalah contoh nyata demokrasi pendidikan dalam tindakan. Demikian pula di lingkungan keluarga, orang tua seharusnya membuka ruang dialog, menghargai pendapat anak, dan memberikan contoh hidup berdemokrasi dalam keseharian. Pemerintah dan lembaga negara pun tak boleh tinggal diam. Sosialisasi tentang pemilu, partisipasi politik, dan hak-hak warga negara harus dikemas secara menarik, kreatif, dan relevan dengan dunia anak muda. Media sosial bisa menjadi sarana efektif jika dikelola secara positif—bukan sekadar tempat kampanye, tetapi juga ruang edukasi. Jika kita ingin mewariskan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan, maka menanamkannya di hati generasi muda adalah jalan utama. Mereka bukan hanya pemilih masa depan, tapi juga pemimpin masa depan. Maka mereka berhak mendapatkan demokrasi pendidikan yang tidak meremehkan, tidak instan, dan tidak berhenti pada simbol. Sebelum berbicara tentang prosedur pemilu, sistem pemilu, atau metode kampanye, kita perlu memastikan bahwa setiap anak muda memahami mengapa demokrasi itu penting, berapa nilai pekerjaan dalam kehidupan, dan mengapa suara mereka berarti. Demokrasi bukanlah warisan yang turun otomatis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia harus diperjuangkan, diajarkan, dan ditumbuhkan sejak dini. Tanpa itu, demokrasi akan hidup dengan baik. Dan kita akan kehilangan bukan hanya pemahaman, tapi juga masa depan yang kita impikan bersama.

Memaknai Pemilu di HUT Kemerdekaan

Oleh: Andi Rannu (Komisioner KPU Polewali Mandar) Bangsa ini baru saja merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80 tahun. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2025 baru lalu. Usia yang bila merujuk pengklasifikasi umur kekinian, masuk kategori preboomer atau kelompok usia sebelum periode Baby Boomers. Telah cukup matang dan berpengalaman. Peringatan HUT RI ke-80 tahun ini yang mengusung tema "Bersatu Berdaulat. Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju" yang tak lain merupakan visi besar negara yang diperjuangkan bersama oleh para pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia. Di usianya yang ke-80 ini, bangsa ini sebenarnya juga baru saja melewati perhelatan besar demokrasi di negara ini. Bahkan terbesar di dunia, mengingat pelaksanaannya yang dilakukan serentak hanya dalam satu hari yang sama, yakni Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta Presiden dan wakil Presiden. Keserentakan pemilu yang sama telah dimulai pada Pemilu 2019 lalu. Keserentakannya juga diikuti dengan pelaksanaan pilkada serentak di tahun yang sama, tepatnya pada 27 November 2024 lalu. Mengutip Titi Anggraini, pegiat pemilu sekaligus pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga salah seorang tim perumus debat publik Pilkada Polman 2024 lalu dalam opininya berjudul "Merdeka dari Kecurangan Pemilu" (Media Indonesia, 16/8/2023), bila menilik sejarah, demokrasi telah menjadi DNA atau identitas genetik bangsa Indonesia sejak awal berdirinya. Tak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, terbit Maklumat 3 November 1945 yang dianggap sebagai sebagai tonggak demokrasi Indonesia. Memang, merujuk pada sejarah pelaksanaan pemilu sejak tahun 1945, Indonesia telah melewati berbagai macam pemilu. Dimulai dari Pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari tanggal proklamasi kemerdekaan, republik ini baru berumur 10 (sepuluh) tahun pada saat pelaksanaannya. Bahkan, terhitung sekitar tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu telah menyatakan keinginannya untuk bisa segera menyelenggarakannya. Pemilu diinginkan bisa diselenggarakan pada awal tahun 1946 sebagaimana dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Dalam maklumat disebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Dan jika ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun kemudian, tentu bukan tanpa sebab. Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946  sebagaimana dikutip dari laman kpu.go.id, disebabkan paling tidak oleh dua hal.  Pertama, belum siapnya pemerintah baru termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu. Kedua, belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik pada waktu itu. Apalagi gangguan dari luar pada saat yang sama juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan urusan konsolidasi. Selepas 1955, sejarah mencatat pelaksanaan pemilu barulah kembali bergulir pada masa Orde Baru (Orba) dengan pelaksanaan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu masa Orba yang dalam dinamika pelaksanaannya kenyatannya masih belum bisa mencerminkan nilai-nilai pemilu demokratis. Karenanya, gerakan reformasi pada tahun 1998 yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orba saat itu, oleh semua elemen di bangsa ini dirasakan menjadi momentum memasuki fase baru demi mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Pemilu yang selama ini telah merupakan siklus lima tahunan, oleh pemerintahan Presiden BJ Habibie yang menggantikan rezim Orba, pelaksanaannya lalu dipercepat ke tahun 1999 sebagai bagian dari proses konsolidasi demokrasi saat itu. Pemilu yang meskipun persiapannya tergolong singkat dan dilaksanakan pasca peristiwa 1998, namun bisa terlaksana dengan damai dan tanpa ada kekacauan yang berarti. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Selanjutnya dilaksanakan Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, hingga Pemilu 2024 baru lalu. Dari sejak pelaksanaan Pemilu 1999 hingga saat ini, berbagai perbaikan dan penataan sistem kepemiluan (refomasi electoral) kita dilaksanakan yang tujuannya tidak terlepas dari bagaimana menjadikan pemilu sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat bisa benar-benar tercapai. Momentum peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 tahun ini karenanya menjadi penting dalam memaknai setiap pelaksanaan Pemilu, termasuk yang baru saja kita lewati di tahun 2024 lalu dan yang akan kita laksanakan kembali di tahun 2029 mendatang. Pemilu yang telah kita percayai selain sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemilihan kepemimpinan nasional setiap lima tahun, juga merupakan sarana dalam menjaga integrasi bangsa. Sejalan dengan tema peringatan HUT RI tahun ini, "Bersatu Berdaulat. Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju". Selamat HUT RI ke-80! (*) (Opini ini telah terbit di Harian Radar Sulbar edisi 21 Agustus 2025)

Populer

RADIO DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI