Opini

PARTISIPASI PILKADA, DARI ANGKA KE MAKNA

Oleh: Andi Rannu (Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Polman) Tanpa terasa, kita telah berada di penghujung tahun 2025. Hari ini, kita telah memasuki bulan Desember sebagai bulan penutup dari dua belas bulan yang akan kita lalui di tahun ini. Lazimnya, penghujung tahun bagi hampir setiap dari kita akan senantiasa menjadi momentum yang akan diisi dengan refleksi dan evaluasi hal-hal yang telah dilaksanakan dan dikerjakan.     Seiring hal itu, sebagaimana yang juga pernah saya hadirkan catatannya di sini, ada banyak evaluasi atas pelaksanaan Pilkada Polman 2024 yang dapat dilakukan. Maka melengkapi catatan "Capaian IPP Pemilu 2024 di Polewali Mandar" yang telah pernah hadir, kali ini catatan bertema capaian Indeks Partisipasi Pemilih (IPP) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Polewali Mandar berjudul "Partisipasi Pilkada, Dari Angka Ke Makna" ini saya hadirkan. Pemilihan judul ini sengaja meminjam judul sama yang digunakan KPU RI dalam buku yang memuat laporan Indeks Partisipasi Pilkada 2024. Buku terbitan KPU RI, Oktober 2025 ini, yang  selengkapnya berjudul, "Indeks Partisipasi Pilkada 2024, Dari Angka Ke Makna".  Keberhasilan Pilkada, sebagaimana disampaikan Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin pada sambutannya dalam buku tersebut, tidak hanya diukur dari lancar dan amannya proses pemungutan dan penhitungan suara, tetapi yang lebih fundamental adalah tingginya tingkat partisipasi  masyarakat sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat yang mencerminkan kesadaran kolektif dalam menentukan arah masa depan bangsa dan daerah. Namun seringkali, partisipasi masyarakat dalam Pilkada hanya dimaknai secara sempit, yaitu sebatas pada kehadiran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Sementara tahapan Pilkada mencakup tahapan yang cukup luas dimulai dari perumusan kebijakan dalam pilkada, proses pencalonan yang melibatkan banyak pihak, dan partisipasi dalam kampanye dengan berbagai variasinya. Penyusunan Indeks Partisipasi Pilkada (IPP) Pilkada ini sendiri, sebagaimana pengantar Anggota KPU RI August Mellaz yang juga Ketua Divisi sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU RI, merupakan sebuah ikhtiar reflektif untuk menghadirkan standar baru dalam memaknai partisipasi politik di Indonesia.   IPP, lanjut August Mellaz, merumuskan lima variabel kunci, yaitu registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, sosialisasi dan pendidikan pemilih, serta 'voter turnout' yang diyakini menjadi faktor penentu dalam "mengenerate" partisipasi politik yang bermakna. Pemilihan variabel ini didasarkan pada pemahaman bahwa partisipasi adalah hasil dari interkasi berlapis antara kesiapan kelembagaan, kualitas kontestasi, ruang deliberasi publik, dan kesadaran pemilih.   Sebagaimana IPP Pemilu 2024 lalu, hasil skor Indeks Partisipasi Pilkada (IPP) juga dikategorisasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Hasil skor Indeks Partisipasi Pilkada dikategorisasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan menggunakan pendekatan persentil sertamempertimbangkan target partisipasi Pemilu sebesar 77,5%. Target ini diposisikan sebagai batas partisipasi tinggi, sementara angka 60% digunakan sebagai ambang batas rata-rata partisipasi rendah. Dengan demikian,daerah dengan skor IPP di bawah 60% dikategorikan sebagai wilayah dengan partisipasi rendah, daerah dengan skor 60% hingga 77,5% masuk kategori sedang, dan daerah dengan skor di atas 77,5% dikategorikan sebagai wilayah dengan partisipasi tinggi. Kategorisasi ini, mengutip buku "Indeks Partisipasi Pilkada 2024, Dari Angka Ke Makna" (2025:46), tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga memiliki makna konseptual. Partisipasi rendah mencerminkan kondisi involvement, yakni keterlibatan yang terbatas hanya pada sebagian kecil proses pemilu. Partisipasi sedang menggambarkan bentuk engagement, yaitu keterlibatan lebih luas dalam sebagian besar tahapan pemilu. Sementara itu, partisipasi tinggi mendekati konsep participatory, di mana pemilih terlibat secara menyeluruh dalam keseluruhan proses pemilu. Dengan pendekatan ini, IPP tidak sekadar mengukur kuantitas partisipasi, tetapi juga mampu memetakan kualitas keterlibatan warga dalam demokrasi elektoral. Berdasarkan Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang telah diterbitkan KPU RI pada Oktober 2025 ini, khusus di Sulawesi Barat, terdapat lima Kabupaten yang berhasil masuk pada kategori engagement, yakni masing-masing adalah Kabupaten Mamuju (skor 76,57), Kabupaten Mamasa (skor 72,30), Kabupaten Polewali Mandar (skor 70,49), Kabupaten Mamuju Tengah (skor 70,13), dan Kabupaten Pasangkayu (skor 64,69). Sementara satu Kabupaten lainnya masih berada pada kategori Involvement, yakni Kabupaten Majene (skor 53,97).   Berdasarkan hasil IPP Pilkada yang telah diluncurkan KPU RI tersebut di atas, meski belum berhasil masuk dalam kategori participatory, namun Kabupaten Polewali Mandar setidaknya telah berhasil masuk pada kategori "engagement" yakni daerah dimana pemilih sudah membuktikan atensinya melalui aksi nyata untuk berkiprah dalam proses-proses pemilu dan isu-isu kepemiluan. Tentu saja, pencapaian skor IPP KPU Kabupaten Polewali Mandar yang masuk kategori engagement, tidak terlepas dari semua format sosialisasi dan pendidikan pemilih yang telah dijalankan selama ini. Termasuk berbagai inovasi pada kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih yang telah dilaksanakan jajaran badan adhoc KPU Polewali Mandar yang tersebar di 16 kecamatan yang ada dalam rangka pelaksanaan seluruh tahapan Pilkada 2024 lalu. (*) (Tulisan ini telah dimuat di Kolom "Catatan" Harian Radar Sulbar, Edisi Senin, 1 Desember 2025)

INTEGRITAS SEBAGAI NILAI KEPAHLAWANAN

  Oleh: Andi Rannu (Komisioner KPU Polman) Penyelenggara Pemilu bekerja dalam nilai-nilai etika yang membingkai setiap gerak-geriknya dalam melaksanakan tugasnya. Nilai-nilai etika memastikan penyelenggara pemilu untuk senantiasa bekerja dengan penuh integritas dan dengan selalu bertindak profesional demi menjaga integritas demokrasi. Mengutip Ketua DKPP RI, Heddy Lugito, saat menjadi narasumber dalam kegiatan bertajuk Evaluasi dan Penguatan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu Untuk Penyelenggaraan Pemilu Berintegritas yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Badung, Bali pada akhir Agustus lalu, menegaskan bahwa etika merupakan landasan utama bagi penyelenggara pemilu dalam menjaga integritas demokrasi. Etika, sebagaimana ditegaskan Heddy, memiliki sifat absolut, berlaku universal, dan tidak bisa dinegosiasikan. Tanpa etika, penyelenggara pemilu berisiko menyalahgunakan kewenangan dan merusak martabat politik bangsa.  Etika penyelenggara pemilu yang penegakannya diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, mencakup dua hal utama, yakni integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. Untuk menjaga integritas dan profesionalitas, penyelenggara pemilu wajib menerapkan prinsip penyelenggara pemilu. Integritas penyelenggara pemilu berpedoman pada prinsip jujur, mandiri, adil dan akuntabel. Sedangkan profesionalitas penyelenggara pemilu berpedoman pada prinsip berkepastian hukum, aksesibiltas, tertib, terbuka, proporsional, profesional, efektif, efisien, dan kepentingan umum. Pemahaman, penegakan dan pelaksanaan atas prinsip-prinsip tersebut menjadi jaminan nilai integritas dan profesionalitas masing-masing penyelenggara pemilu.   Di bulan ini, bangsa ini juga baru saja merayakan Hari Pahlawan. Momentum yang biasanya selalu diisi dengan seremoni perayaan sekaligus renungan atas jasa-jasa dan pengorbanan para pahlawan bangsa ini dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Nilai-nilai kepahlawanan yang didasari pada nilai perjuangan dan pengorbanan dari mereka yang hingga kini kita apresiasi sebagai para pahlawan nasional. Tentang nilai kepahlawanan ini, ada yang menarik dalam laporan Jajak Pendapat Kompas (10/11/2025) berjudul "Integritas dan Keadilan Menjadi Nilai Baru Kepahlawanan". Jajak Pendapat Litbang Kompas yang digelar pada 6-9 Oktober 2025 menemukan, sebanyak 60 persen responden menilai, krisis integritas adalah tantangan moral terbesar Indonesia hari ini yang harus diperjuangkan.  Temuan ini menurut Kompas menegaskan pergeseran makna kepahlawanan, dari pengorbanan fisik di medan perang menjadi perjuangan moral di tengah pusaran kekuasaan dan kepentingan pribadi. Pahlawan masa kini bukan lagi mereka yang mengangkat senjata, melainkan yang berani menegakkan kejujuran dan keadilan dalam sistem yang masih membuka peluang perilaku korup.      Dengan aspek kejujuran sebagai nilai utama kepahlawanan, semakin kuat terasa bahwa bangsa ini tengah dihadapkan pada krisis integritas. Hal inilah yang dirasakan publik dan menjadi tantangan terbesar bangsa. Sebanyak 57,4 persen responden jajak pendapat menyebutkan, penegakan kebenaran dan keadilan, seperti memberantas korupsi, menjadi ukuran utama kualitas kepahlawanan masa kini. Artinya, masyarakat tidak lagi mengukur kepahlawanan dari pangkat, jabatan, atau popularitas, tetapi dari keberanian moral untuk membela kebenaran.  Namun, sebagaimana dituliskan lebih lanjut dalam laporan Kompas tersebut, jika dibandingkan dengan jajak pendapat Litbang Kompas tahun 2015, terlihat adanya perubahan persepsi publik. Hasil jajak pendapat 10 tahun lalu itu menangkap makna kepahlawanan paling banyak dipandang sebagai sikap rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara (49,7 persen). Sementara saat itu isu penegakan kebenaran dan keadilan berada di urutan ketiga dengan angka 18,5 persen. Temuan ini, demikian disimpulkan Kompas, makin menegaskan, krisis integritas, terutama perilaku koruptif, semakin mengkhawatirkan. Dari hasil jajak pendapat terpotret bahwa publik menaruh harapan pada tumbuh kembalinya nilai-nilai kepahlawanan. Selain kejujuran dan keadilan, aspek nasionalisme, gotong royong, keberanian, kepedulian sosial, dan keteladanan juga muncul sebagai sesuatu yang dirindukan. Munculnya aspek keteladanan makin menegaskan bahwa bangsa ini merindukan keteladanan, bukan sekadar penghormatan.  Berdasarkan laporan jajak pendapat terbaru itu Kompas kemudian menyimpulkan, hasil jajak pendapat ini menegaskan ada kecenderungan publik mulai jenuh dengan heroisme simbolik. Publik membutuhkan lebih banyak pahlawan moral yang jujur, adil, dan berintegritas. Tentu pada akhirnya perlu ditumbuhkan lewat teladan nyata, pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatan, warga yang berani menolak ketidakjujuran, serta generasi muda yang tidak menyerah pada sikap pesimistis.  Penyelenggara pemilu sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal dari catatan ini senantiasa harus menjaga nilai integritas dan profesionalitasnya. Keduanya menjadi dua sisi mata uang yang harus terbangun dan senantiasa hadir dalam diri seorang penyelenggara pemilu. Hal itu menjadi kewajiban mengikat yang selalu harus tergambar dari perilaku seorang penyelenggara pemilu. Prinsip-prinsip profesionalitas yang menjadi tuntutan tugas selaku penyelenggara pemilu yang harus tetap dibarengi nilai-nilai integritas yang berlandaskan dan berpedoman pada prinsip jujur, mandiri, adil dan akuntabel. Prinsip-prinsip yang sejatinya menjadi pondasi dari nilai-nilai kepahlawanan di masa kini. (*)   (Tulisan ini telah dimuat di Kolom "Catatan" Harian Radar Sulbar edisi Senin, 24 November 2025).

PEMILU DAN KETERBUKAAN INFORMASI

Oleh: Andi Rannu (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas & SDM KPU Polman) Pada Kamis 13 November 2025 baru lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Polewali Mandar memenuhi undangan Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Barat untuk hadir membawakan Presentasi inovasi PPID dalam forum yang dilaksanakan di Kantor Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Barat, Kompleks Kantor Gubernur sulawesi Barat/Gedung Merah Putih, Mamuju. Presentasi inovasi PPID pada badan publik ini yang berlangsung pada 11 - 13 November 2025 ini, merupakan bagian dari rangkaian pelaksanaan e-Monev dan Komisi Informasi Award yang dilaksanakan Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Barat. Kehadiran KPU Polewali Mandar yang dipimpin langsung oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM yang sekaligus menjabat sebagai Tim Pertimbangan dalam struktur PPID KPU Polewali Mandar, didampingi Sekretaris KPU Polewali Mandar selaku atasan PPID dan sekaligus bagian dari TIm Pertimbangan, serta staf Sekretariat KPU Polman selaku operator PPID, dalam forum Presentasi tersebut tak lain dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen KPU Polman dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik. Dalam rangka mewujudkan keterbukaan informasi publik, KPU Polewali Mandar selama ini telah menunjukkannya dalam komitmen untuk memberikan pelayanan maksimal atas permohonan informasi, baik bagi pemohon yang datang secara langsung di Kantor KPU Polewali Mandar, maupun melalui penyediaan informasi secara langsung melalui e-PPID yang memungkinkan masyarakat luas bisa mengakses kebutuhan informasi sesuai klasifikasi informasi yang disediakan di dalamnya. Sebagai badan publik dengan tugas utama sebagai lembaga penyelenggara pemilu, keterbukaan informasi dan aksesibilitas yang menjadi semangat dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPU Polewali Mandar selaku penyelenggara pemilu. Sebab komitmen keterbukaan informasi publik maupun pelayanan yang adil dan ramah disabilitas merupakan sebagian dari nilai-nilai integritas yang dipegang teguh oleh penyelenggara pemilu.  Sebagaimana telah dipahami, untuk menjaga integritas dan profesionalitas, penyelenggara pemilu wajib menerapkan prinsip penyelenggara pemilu. Hal itu sebagaimana telah ditegaskan dalam kode etik penyelenggara pemilu. Ditegaskan di dalamnya, integritas penyelenggara pemilu itu berpedoman pada sejumlah prinsip, yang salah satunya adalah prinsip keterbukaan yang memiliki makna, dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu memberikan akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat sesuai kaedah keterbukaan informasi publik. KPU dan tentu pula di dalamnya termasuk KPU Polewali Mandar, sangat berkomitmen dan memiliki kewajiban menjamin keterbukaan infomasi publik.   Dan di bagian akhir dari catatan ini, saya ingin mengutip sejumlah alasan mengapa informasi pemilu sangat penting disebarluaskan kepada pemilih sebagaimana dipaparkan dalam buku karya terbaru Prof. Ramlan Surbakti, berjudul "Tata Kelola Pemilu - Electoral Governance" (2024) sebagaimana yang saya kutip berikut ini: Pertama, berdasarkan asas umum dan kesetaraan (universal and equal suffrage), maka pemilihan umum melibatkan semua warga negara yang telah mencapai umur memilih (sekitar 70 persen dari penduduk untuk konteks Indonensia). kedua asas tersebut tidak hanya menjamin hak pilih semua warga negara yang telah mencapai usia memilih, tetapi juga menjamin nilai suara setiap tersebut setara. Karena itu, setiap pemilih memerlukan informasi tentang peserta pemilu dan encana kebijakan publik yang ditawarkan sehingga pemilih dapat memilah, mempertimbangkan, dan memilih alternatif yang akan dipilih. Kedua, pemilu tidak hanya melibatkan pemilih, peserta pemilu beserta para calon, dan penyelenggara pemilu dan panitia pemungutan dan penghitungan suara, tetapi juga pemantau pemilu, berbagai organisasi masyarakat sipil, media massa, lembaga survei, pengusaha, penegak hukum (Polri sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut, dan Pengadilan), Polri (keamanan dan ketertiban) dan TNI, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Aparat sipil Negara (ASN), dan sudah barang tentu DPR dan pemerintah sesuai dengan peran masing-masing. Peran yang dilakukan oleh setiap pihak tersebut diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Karena itu, setiap pihak wajib mengetahui dan menyadari peran yang harus dilakukan. Ketiga, pemilu menyangkut kepentingan seluruh warga negara penyelenggara negara hasil pemilu tersebutlah yang akan membuat dan melaksanakan kebijakan publik (UU, APBN) untuk kepentingan umum. Karena itu, informasi pemilu yang lengkap dan akurat tentang rekam jejak dan integritas calon diperlukan oleh setiap pemilih sebagai bahan informasi untuk mengambil keputusan. Keempat, pemilu merupakan persaingan antarpeserta pemilu (partai politik beserta para calon, pasangan calon presiden dan wakil presiden, peserta perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah bauk yang diajukan partai atau gabungan partai maupun yang diajukan perseorangan) untuk memperebutkan jabatan publik baik wakil rakyat maupun kepala pemerintahan. Persaingan tersebut akan sangat sengit dan tajam karena jumlah calon yang memperbutkan jabatan tersebut jauh lebih banyak daripada jumlah jabatan publik yang diperebutkan. untuk menajmin agar persaingan yang sengit ini tidak menggunakan cara-cara curang, membeli suara dengan uang dan materi, dan intimidasi dan kekerasan, maka UU Pemilu tidak hanya mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga larangan yang harus dihindari. Informasi pemilu seperti ini oleh setiap pihak agar tidak melakukan tindakan pelanggaran. (*)         (Tulisan ini telah terbit di Kolom "Catatan" halaman satu Harian Radar Sulbar Edisi Senin, 17 November 2025).

REFLEKSI PEMILU DI HARI PAHLAWAN

Oleh Andi Rannu (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas & SDM KPU Polman) Hari ini, bertepatan dengan tanggal 10 November 2025, bangsa ini kembali memperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan diperingati setiap tahun dengan tujuan mengenang dan menghormati perjuangan para pahlawan di masa lalu. Peringatan yang sejatinya terasa kian penting bagi bangsa yang kini telah menggenapkan 80 tahun usia kemerdekaannya ini. Maka dalam momentum peringatan Hari Pahlawan Tahun 2025 ini, terasa penting merefleksikan nilai kepahlawanan dalam memandang pelaksanaan pemilu dan pilkada sebagai perhelatan demokrasi lima tahunan di bangsa ini. Sekaligus pemilihan tema catatan ini dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap para penyelenggara terdepan pemilu dan pilkada ini yang keanggotaannya bersifat adhoc, khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai panitia pelaksana di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Para panitia pelaksana yang telah sukses menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada serentak 2024 lalu, sekaligus sebagai perbaikan dari pelaksanaan Pemilu 2019 sebelumnya. Tak dimungkiri, Pemilu 2019 silam mencatatkan tragedi atas meninggalnya 485 petugas KPPS saat itu. Para penyelenggara adhoc memiliki peran yang begitu penting dalam memastikan kesuksesan setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada. Mengutip Guru Besar Departemen Ilmu Politik FISIP UNAIR yang juga Ketua KPU RI Periode 2004-2007, Prof. Ramlan Surbakti dalam buku terbarunya berjudul "Tata Kelola Pemilu" (2024) menyebutkan, panitia pelaksana ini, khususnya KPPS di bawah koordinasi PPS, yang menyelenggarakan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan proses pemungutan dan penghitungan suara. Kemampuan panitia pelaksana melaksanakan proses pemungutan dan penghitungan suara sangat menentukan kualitas pemilu.  Tentang nilai-nilai kepahlawanan ini dalam kaitan pelaksanaan pemilu dan pilkada, saya teringat pernyataan Bahtiar Baharuddin selaku Penjabat Gubernur Sulawesi Barat saat membawakan sambutan dalam pelaksanaan Rapat Persiapan Pembentukan KPPS untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 yang dilaksanakan KPU Provinsi Sulawesi Barat, pada 17 September 2024 lalu. Menurut Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri tersebut, menjadi seorang anggota KPPS tidaklah mudah, mengingat tugas dan tanggung jawab yang diembannya saat pelaksanaan pemilu ataupun pilkada. Bahkan sejak dulu dan di banyak negara demokrasi, dikatakannya, tugas seperti ini merupakan pekerjaan yang bersifat sukarelawan atau volunter dengan resiko pekerjaan yang relatif tinggi pula terkait kepercayaan masyarakat atas kinerja dan profesionalitasnya. Sehingga menurut Bahtiar yang adalah juga sekretaris Tim Seleksi (Timsel) Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Periode 2022-2027 di tahun 2021 silam itu, tidak mudah menjadi anggota KPPS. Termasuk, tegasnya, tidak mudah mencari orang yang secara ikhlas, secara sukarela, penuh dedikasi dan tanggungjawab, untuk mau menjadi anggota KPPS. Sehingga baginya, para petugas KPPS ini sejatinya adalah pahlawan pemilu, pahlawan pilkada, serta pahlawannya demokrasi. Para petugas KPPS ini memiliki pekerjaan yang paling rumit dengan beban pekerjaan yang juga paling tinggi. Mulai dari menyiapkan dan memastikan undangan (pemberitahuan kepada pemilih) semuanya sampai, hingga memastikan kelayakan dari Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Pentingnya tugas dan tanggungjawab KPPS juga ditegaskan Prof. Teguh Prasetyo, anggota DKPP RI Periode 2017-2022, dalam bukunya bertajuk "Filsafat Pemilu" (2018). Sebagai contoh, menurutnya, yaitu begitu pentingnya kewenangan dan kewajiban untuk menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel. Kalau seandainya tidak ada kelembagaan yang menjalankan tugas, fungsi atau kewenangan yang demikian itu, kata Teguh, maka jaminan keamanan yang begitu penting yang berujung pada kesahan seluruh hasil pemungutan suara rakyat di seluruh wilayah NKRI maupun di luar negeri, akan dirasakan kurang memadai atau barangkali akan mengalami kekacauan. Begitu pula, dengan tugas KPPS, misalnya, yakni untuk menyampaikan surat undangan atau pemberitahuan kepada pemilih sesuai dengan daftar pemilih tetap untuk menggunakan hak pilihnya di TPS. Apabila tidak ada petugas yang melaksanakan tindakan hukum berperspektif keadilan bermartabat, atau yang sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, jelasnya, maka mungkin saja ada keengganan dari pemilih untuk datang memberikan suara mereka di tempat-tempat pemungutan suara yang telah ditentukan.  Dari paparan di atas jelas tergambar bahwa tugas penyelenggara pemilu di semua tingkatannya merupakan tugas yang tidak ringan yang di dalamnya senantiasa membutuhkan nilai-nilai profesionalitas dan integritas. Mengutip Ketua DKPP RI Heddy Lugito, pada dasarnya para penyelenggara pemilu adalah para wakil masyarakat yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi secara berkualitas. Mereka adalah orang-orang terpilih yang secara moral, intelektual, profesional dan dianggap cakap serta mumpuni untuk menjalankan tugas yang maha berat, mulia, dan sensitif, yakni menjadi penyelenggara pemilu. Selamat Hari Pahlawan!(*) (Tulisan ini telah terbit di Kolom "Catatan" halaman satu Harian Radar Sulbar Edisi Senin, 10 November 2025).

RADIO DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI

Oleh: Andi Rannu  (Komisioner KPU Polman) Beberapa waktu lalu, tepatnya pada  tanggal 11 September 2025, bangsa ini kembali memperingati Hari Radio Nasional. Momentum yang sekaligus juga diperingati sebagai hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI). Di tahun ini, RRI merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Radio publik milik bangsa ini memang memiliki bilangan usia yang sama dengan usia kemerdekaan bangsa ini, mengingat RRI yang memang didirikan pada 11 September 1945. Maka tak heran jika tanggal 11 September juga sering disebut sebagai Hari RRI. Kelahiran RRI sendiri tidak terlepas dari perkembangan penyiaran di masa penjajahan Jepang. Bahkan, sejarah mencatat RRI didirikan sebulan setelah siaran Radio Hoso Kyoku dihentikan tanggal 19 Agustus 1945. Penghentian siaran Radio Hoso Kyoku saat itu telah menyebabkan masyarakat menjadi buta akan informasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Menanggapi perkembangan tersebut, orang-orang yang pernah aktif di radio pada  masa penjajahan Jepang menyadari pentingnya menghadirkan radio sebagai alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan. Wakil-wakil dari delapan bekas Radio Hosu Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta. Pada 11 September 1945 pukul 17.00, delegasi radio sudah berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon dan diterima sekretaris Negara. Dalam pertemuan itu, Abdulrahman Saleh yang menjadi ketua delegasi menguraikan garis besar rencana pertemuan tersebut, salah satunya mengimbau pemerintah untuk mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat, mengingat tentara sekutu akan mendarat di Jakarta akhir September 1945. Di akhir pertemuan, dibuat kesimpulan antara lain dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa, mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat, serta  mengimbau supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh. Pada pukul 24.00, delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman. Hasil akhir dari rapat itu adalah didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. Sarana Pendidikan Demokrasi Momentum memperingati Hari Radio Nasional di tahun ini dalam rangka peran memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tak kalah pentingnya dengan momentum peringatannya di tengah berjalannya tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di tahun 2024 lalu. Meski tidak dimungkiri jika tahun 2024 lalu merupakan tahun berjalannya tahapan hingga pelaksanaan pemilu dan pilkada itu sendiri. Meski begitu, bukan berarti peran radio dan lembaga penyiaran pada  umumnya tidak bisa dimaksimalkan untuk mendorong partisipasi dan pendidikan demokrasi bagi setiap warga negara dalam menghadapi pelaksanaan pemilu dan pilkada mendatang. Sebaliknya, fungsi dan tujuan lembaga penyiaran sebagaimana amanah Undang- Undang Penyiaran itu sendiri telah jelas. Yakni penyiaran diselenggarakan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta  menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Selain dalam rangka mewujudkan masyarakat demokratis, selanjutnya juga disebutkan penyiaran yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Jelaslah, menjalankan fungsi sebagai media informasi dan media pendidikan serta sekaligus sebagai perekat sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan perhelatan demokrasi melalui sarananya berupa pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebab dari beberapa kali pelaksanaan pemilu di bangsa ini juga telah mencatat berbagai dinamika dalam pelaksanaannya, termasuk polarisasi sebagai ekses yang juga pernah timbul dan dirasakan di dalamnya. Karena itu, menyadari peran penting radio sebagai media penyiaran yang berfungsi sebagai perekat sosial diharapkan dapat meminimalisir dan bahkan meniadakan berbagai tantangan tersebut, seperti yang telah kita rasakan dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 baru lalu. Tentu saja dibarengi dengan peran sebagai media informasi dan Pendidikan politik dan demokrasi (pemilu) yang terus senantiasa dijalankan dan dimaksimalkan.  Pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang bagi sebagian kalangan boleh jadi terbilang masih jauh. Tetapi bagi Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya, tidak menjadikannya sebagai faktor yang mengurangi kesiapan dan kesigapan dalam mempersiapkannya. Sebaliknya, KPU dan jajaran di masa non tahapan seperti sekarang ini tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang menjadi bagian dari persiapan menghadapi pelaksanaannya nanti. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) dan Pendidikan Pemilih Berkelanjutan menjadi dua agenda penting yang terus dijalankan KPU dan jajarannya saat ini. Tujuan utamanya jelas, bagaimana menjaga akurasi dan validitas data pemilih serta peningkatan literasi yang akan terkait dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah mendatang. Pada wilayah ini, radio sebagai lembaga penyiaran dapat mendukung dan menjalankan peran yang sama untuk pemberian informasi dan pendidikan demokrasi bagi pendengar serta  masyarakat secara luas. Dengan demikian,  masyarakat pada akhirnya diharapkan dapat terakses oleh informasi-informasi kepemiluan dan demokrasi yang akan berguna sebagai bagian dari pendidikan politik yang akan menjadi pengetahuan dan akan memiliki pengaruh dalam menciptakan pemilih kita yang makin cerdas dan kritis nantinya. Semoga!  (*) (Opini ini telah terbit di kolom “Catatan” Harian Radar Sulbar edisi Selasa, 23 September 2025)  

Demokrasi Sejak Dini, Bukan Menjelang Pemilu

Oleh : RUDIANTO (Anggota KPU Kabupaten Polewali Mandar) Dalam salah satu kegiatan sosialisasi tentang demokrasi yang pesertanya dari kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis pernah mengajukan pertanyaan sederhana: Apa pengertian demokrasi? Hampir seluruh peserta dapat menjawab dengan lancar. Ada yang menyebut “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ada pula yang menjelaskan bahwa demokrasi berarti kebebasan berpendapat atau sistem yang menjunjung persamaan hak. Semua terdengar meyakinkan. Namun, saat pertanyaan berikutnya diajukan: Pasal berapa dalam UUD 1945 yang memuat prinsip demokrasi?, tak satu pun dari sekitar 100 siswa mampu menjawab dengan benar. Tak ada yang menyebut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan awal: generasi muda hari ini memang mengenal istilah demokrasi, tetapi belum tentu memahami maknanya secara substansial, apalagi dalam kaitannya dengan dasar hukum negara. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara pengetahuan teoritis yang diperoleh di kelas dengan pemahaman kontekstual yang seharusnya membentuk sikap dan kesadaran demokratis. Di bangku sekolah, pembelajaran tentang demokrasi umumnya terbatas pada sejarah dan definisi formal belaka. Buku teks menjelaskan kronologi munculnya demokrasi, tokoh-tokohnya, dan jenis-jenis sistem pemerintahan. Namun, sangat jarang ada ruang yang cukup untuk mendalami bagaimana demokrasi dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kedaulatan rakyat bekerja dalam praktik, dan bagaimana anak muda sebagai bagian dari warga negara bisa terlibat aktif di dalamnya. Padahal, demokrasi di Indonesia memiliki dasar konstitusional yang sangat kuat. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar.” Kalimat ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi landasan filosofis dan operasional dari sistem demokrasi kita. Kedaulatan rakyat itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk partisipasi politik, salah satunya melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan menyatakan kehendaknya secara langsung, memilih wakil-wakil mereka yang akan menyusun kebijakan dan mengelola pemerintahan. Namun, tanpa pemahaman yang utuh sejak dini, pemilu bisa saja dipahami hanya sebagai rutinitas lima tahunan, tanpa menyadari bahwa di situlah esensi demokrasi dijalankan. Oleh karena itu, generasi muda membutuhkan pencerahan demokrasi yang tidak sekadar menghafal pemahaman, tetapi juga memahami bagaimana prinsip itu hidup dalam praktik bernegara. Internasionalisasi nilai-nilai demokrasi sejak usia sekolah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi. Di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan konten-konten yang sering membingungkan antara fakta dan opini, anak muda perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, menghargai perbedaan, dan bersikap adil. Ini semua adalah nilai-nilai demokrasi yang seharusnya tumbuh dan dibentuk sejak dini, bukan hanya menjelang pemilu. Sekolah, sebagai institusi pendidikan formal, memegang peran kunci. Budaya diskusi di ruang kelas, pemilihan ketua OSIS yang bebas dan adil, forum debat terbuka antar siswa, atau bahkan pelibatan siswa dalam pengambilan keputusan sekolah, adalah contoh nyata demokrasi pendidikan dalam tindakan. Demikian pula di lingkungan keluarga, orang tua seharusnya membuka ruang dialog, menghargai pendapat anak, dan memberikan contoh hidup berdemokrasi dalam keseharian. Pemerintah dan lembaga negara pun tak boleh tinggal diam. Sosialisasi tentang pemilu, partisipasi politik, dan hak-hak warga negara harus dikemas secara menarik, kreatif, dan relevan dengan dunia anak muda. Media sosial bisa menjadi sarana efektif jika dikelola secara positif—bukan sekadar tempat kampanye, tetapi juga ruang edukasi. Jika kita ingin mewariskan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan, maka menanamkannya di hati generasi muda adalah jalan utama. Mereka bukan hanya pemilih masa depan, tapi juga pemimpin masa depan. Maka mereka berhak mendapatkan demokrasi pendidikan yang tidak meremehkan, tidak instan, dan tidak berhenti pada simbol. Sebelum berbicara tentang prosedur pemilu, sistem pemilu, atau metode kampanye, kita perlu memastikan bahwa setiap anak muda memahami mengapa demokrasi itu penting, berapa nilai pekerjaan dalam kehidupan, dan mengapa suara mereka berarti. Demokrasi bukanlah warisan yang turun otomatis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia harus diperjuangkan, diajarkan, dan ditumbuhkan sejak dini. Tanpa itu, demokrasi akan hidup dengan baik. Dan kita akan kehilangan bukan hanya pemahaman, tapi juga masa depan yang kita impikan bersama.

Populer

PEMILU DAN KETERBUKAAN INFORMASI

REFLEKSI PEMILU DI HARI PAHLAWAN

PARTISIPASI PILKADA, DARI ANGKA KE MAKNA

INTEGRITAS SEBAGAI NILAI KEPAHLAWANAN