Opini

Demokrasi Sejak Dini, Bukan Menjelang Pemilu

Oleh : RUDIANTO
(Anggota KPU Kabupaten Polewali Mandar)

Dalam salah satu kegiatan sosialisasi tentang demokrasi yang pesertanya dari kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis pernah mengajukan pertanyaan sederhana: Apa pengertian demokrasi? Hampir seluruh peserta dapat menjawab dengan lancar. Ada yang menyebut “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ada pula yang menjelaskan bahwa demokrasi berarti kebebasan berpendapat atau sistem yang menjunjung persamaan hak. Semua terdengar meyakinkan. Namun, saat pertanyaan berikutnya diajukan: Pasal berapa dalam UUD 1945 yang memuat prinsip demokrasi?, tak satu pun dari sekitar 100 siswa mampu menjawab dengan benar. Tak ada yang menyebut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan awal: generasi muda hari ini memang mengenal istilah demokrasi, tetapi belum tentu memahami maknanya secara substansial, apalagi dalam kaitannya dengan dasar hukum negara. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara pengetahuan teoritis yang diperoleh di kelas dengan pemahaman kontekstual yang seharusnya membentuk sikap dan kesadaran demokratis.

Di bangku sekolah, pembelajaran tentang demokrasi umumnya terbatas pada sejarah dan definisi formal belaka. Buku teks menjelaskan kronologi munculnya demokrasi, tokoh-tokohnya, dan jenis-jenis sistem pemerintahan. Namun, sangat jarang ada ruang yang cukup untuk mendalami bagaimana demokrasi dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kedaulatan rakyat bekerja dalam praktik, dan bagaimana anak muda sebagai bagian dari warga negara bisa terlibat aktif di dalamnya.

Padahal, demokrasi di Indonesia memiliki dasar konstitusional yang sangat kuat. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar.” Kalimat ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi landasan filosofis dan operasional dari sistem demokrasi kita. Kedaulatan rakyat itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk partisipasi politik, salah satunya melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan menyatakan kehendaknya secara langsung, memilih wakil-wakil mereka yang akan menyusun kebijakan dan mengelola pemerintahan.

Namun, tanpa pemahaman yang utuh sejak dini, pemilu bisa saja dipahami hanya sebagai rutinitas lima tahunan, tanpa menyadari bahwa di situlah esensi demokrasi dijalankan. Oleh karena itu, generasi muda membutuhkan pencerahan demokrasi yang tidak sekadar menghafal pemahaman, tetapi juga memahami bagaimana prinsip itu hidup dalam praktik bernegara.

Internasionalisasi nilai-nilai demokrasi sejak usia sekolah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi. Di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan konten-konten yang sering membingungkan antara fakta dan opini, anak muda perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, menghargai perbedaan, dan bersikap adil. Ini semua adalah nilai-nilai demokrasi yang seharusnya tumbuh dan dibentuk sejak dini, bukan hanya menjelang pemilu.

Sekolah, sebagai institusi pendidikan formal, memegang peran kunci. Budaya diskusi di ruang kelas, pemilihan ketua OSIS yang bebas dan adil, forum debat terbuka antar siswa, atau bahkan pelibatan siswa dalam pengambilan keputusan sekolah, adalah contoh nyata demokrasi pendidikan dalam tindakan. Demikian pula di lingkungan keluarga, orang tua seharusnya membuka ruang dialog, menghargai pendapat anak, dan memberikan contoh hidup berdemokrasi dalam keseharian.

Pemerintah dan lembaga negara pun tak boleh tinggal diam. Sosialisasi tentang pemilu, partisipasi politik, dan hak-hak warga negara harus dikemas secara menarik, kreatif, dan relevan dengan dunia anak muda. Media sosial bisa menjadi sarana efektif jika dikelola secara positif—bukan sekadar tempat kampanye, tetapi juga ruang edukasi.

Jika kita ingin mewariskan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan, maka menanamkannya di hati generasi muda adalah jalan utama. Mereka bukan hanya pemilih masa depan, tapi juga pemimpin masa depan. Maka mereka berhak mendapatkan demokrasi pendidikan yang tidak meremehkan, tidak instan, dan tidak berhenti pada simbol.

Sebelum berbicara tentang prosedur pemilu, sistem pemilu, atau metode kampanye, kita perlu memastikan bahwa setiap anak muda memahami mengapa demokrasi itu penting, berapa nilai pekerjaan dalam kehidupan, dan mengapa suara mereka berarti.

Demokrasi bukanlah warisan yang turun otomatis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia harus diperjuangkan, diajarkan, dan ditumbuhkan sejak dini. Tanpa itu, demokrasi akan hidup dengan baik. Dan kita akan kehilangan bukan hanya pemahaman, tapi juga masa depan yang kita impikan bersama.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 356 kali